195 total views, 2 views today
PALEMBANG KS-Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ternyata berimbas terhadap penjualan barang elektronik seperti laptop, tablet, dan notebook. Hargapun bertumbuh sebanyak 30 persen.
Aliong, pemilik Toko elektronik Cahaya Elektronik kepada Harian Umum Kabar Sumatera menyampaikan, kenaikan harga produk elektronik ini berlangsung sejak dua pekan lalu. Puncaknya bersamaan dengan nilai tukar dolar yang kian menguat terhadap rupiah.
“Hampir semua jenis komputer baik itu laptop, tablet, dan notebook mengalami kenaikan harga 30 hingga 35 persen. Sedang untuk produk mesin cuci, televisi, dan lemari es berbagai merek juga ikut naik yang besarannya Rp 300.000 hingga Rp 350.000 per unit,” Aliong menyebutkan.
Lanjut Aliong, naiknya harga jual produk elektronika ini disebabkan karena komponen komputer dan peralatan elektronik hampir 85 persen adalah impor. Sehingga wajar bila produk itu memicu kenaikan harga.
“Laptop standar merek Accer dan Dell sebelumnya dijual seharga Rp 3,6 juta per unit, kini naik menjadi Rp 3,9 juta bahkan sampai Rp 4 juta per unitnya. Dan, saat ini harganya masih tentatif atau tergantung rupiahnya mau melemah terus atau naik. Kalau melemah terus harga akan kembali naik sebab ini kan barang impor,” jelasnya.
Fauziah Wardani, pemerhati ekonomi mengutarakan, lemahnya nilai tukar rupiah jangan sakedar diratapi. Namun, yang terjadi terhadap kenaikan beberapa kebutuhan seperti elektronik, properti, dan sebagainya merupakan bagian dari proses yang harus dilewati konsumen.
Untuk itu, kata Fauziah, pemerintah tidak boleh lalai menanggapi kenaikan harga ini. Justru naiknya harga barang elektronik anggap saja sebagai lompatan untuk melakukan substitusi impor komoditi dan produk yang selama ini impor dari luar negeri.
“Kita kan banyak hasil komoditi industri yang bahan bakunya berbasis impor. Dengan begitu pemerintah bisa mendorong dan memfasilitasi industri tersebut untuk melakukan substitusi impor dalam jangka panjang. Ini sebenarnya adalah momentum terhadap semua yang di impor agar diproduksi dan dibuat sendiri di dalam negeri,” terangnya.
Pendapat Fauziah, langkah tersebut jauh lebih bijak ketimbang meratapi pelemahan rupiah tanpa berbuat sesuatu. Pemerintah harus bisa mendorong eksport lebih besar, sehingga upaya itu di harapkan dapat menguntungkan perekonomian Indonesia.
“Saya yakin model kebijakan itu mampu mendorong normalisasi rupiah yang di ikuti dengan langkah menurunkan tarif bea keluar seperti bea keluar CPO yang tinggi. Ya, tentunya saya optimis tis kuantitas ekspor bisa ditingkatkan karena pelemahan rupiah disebabkan permasalahan fundamental ekonomi itu sendiri,” tutupnya.
TEKS:JEMMY SAPUTERA
EDITOR:RINALDI SYAHRIL