200 total views, 2 views today
Prof DR Jalaluddin
Guru Besar IAIN Raden Fatah Palembang
Mengenai kejujurannya, saya dapat menyaksikan sendiri pada waktu kami singgah di Bangkok dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Di sana Bung Hatta menanyakan pak Wangsa, berapa sisa uang yang diberikan oleh Pemerintah untuk berobat. Ternyata sebagian besar uang tersebut masih utuh oleh karena ongkos- ongkos pengobatan tidak sebesar yang semula diduga. Segera Bung Hatta memerintahkan pak Wangsa untuk mengembalikan uang sisa tersebut kepada Pemerintah melalui Kedutaan Besar kita di Bangkok.( Mahar Mardjono, 1980 ).
Inilah cuplikan dari tulisan pak dr. Mahar Mardjono. Dokter pribadi Bung Hatta yang mendampingi beliau selama menjalani pengobatan di Eropa. Memang kejujuran Wakil Presiden pertama, Republik Indonesia ini bukan dibuat- buat. Sifat jujur sudah merupakan ciri khas dari kepribadian Bung Hatta. Meskipun selalu tampil sederhana,beliau diakui oleh banyak kalangan sebagai pemimpin yang memiliki kewibawaan, disiplin dan dekat dengan rakyat kecil. Pokoknya sosok Bung Hatta sangat layak untuk dijadikan panutan para pemimpin di Republik ini.
Bung Hatta memang tidak pernah mengecap pendidikan agama secara formal. Memasuki usia sekolah ia sudah dimasukkan ke sekolah pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan formal beliau diawali dari Europese Lagere School, lalu melanjutkan ke Meer Iutgebreid Lager Onderwijs ( MULO ). Bahkan Bung Hatta menyelesaikan pendidikan tingginya di Negeri Kincir Angin tersebut. Di negeri penjajah bangsanya. Lalu kalau dari mana Bung Hatta memperoleh pendidikan yang mampu melengkapi dirinya dengan nilai- nilai keislaman seperti itu ? Sosok Muslim yang taat dengan ciri- ciri kepribadian berakhlak mulia itu ?
Putra Minang yang bernama Mohammad Athar ini dibesarkan di lingkungan tradisi masyarakatnya. Tradisi yang adat- istiadatnya berlandasan ajaran agama Islam. Semuanya tergambar utuh dalam pepatah Minangkabau : “Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah. Syara’ mengata, Adat memakai, Syara’ bertelanjang. Adat bersesamping. Adat menurun, Syara’ mendaki.” ( Hamka, 1985 ). Di lingkungan kehidupan adat Minangkabau itu pula Bung Hatta mengenal nilai- nilai ajaran agamanya. Dalam kata dan perbuatan.
Nilai- nilai ajaran Islam tidak hanya dilisankan, melainkan juga diterapkan melalui pembiasaan dalam kehidupan keluarga. Ini pula tampaknya besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian Bung Hatta. Kepribadian sebagai seorang Muslim yang selanjutnya tetap beliau pertahankan dalam segala aktivitasnya sepanjang hayat beliau. Pendidikan dalam rumah tangga atau homeschooling yang kemudian fungsi dan perannya secara berangsur digeserkan ke lembaga pendidikan formal. Seiring dengan pergeseran institusi ( keluarga ), terjadi pula pergeseran muatannya. Pendidikan agama Islam berubah menjadi “pembelajaran agama Islam.”
Pemberdayaan homeschooling hakikatnya adalah pemenuhan kewajiban dan tanggungjawab orangtua ( Ibu- Bapa ) selaku pendidik kodrati. “ Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka ( tanggungjawab ) kedua orangtuanyalah yang ( bakal ) menjadikanya Yahudi, Nasrani atau Majusi, “ begitu inti dari pesan Rasul Allah. Saw. Namun sayangnya, tuntunan Rasul Saw. ini semakin dilupakan oleh keluarga Muslim. Wajar saja, bila kemudian bermunculan generasi penerus yang jadi “ pemimpin”, tapi sulit untuk dijadikan “sosok teladan”.