273 total views, 2 views today
Oleh : Jalaluddin
Sekitar tahun 1966 penah terbit buku berjudul Mengapa Einstein Bertuhan ? Omar Hashem sebagai penulisnya mengungkapkan, bahwa Albert Einstein penemu teori relativitas itu “terkagum- kagum “ oleh hasil kajiannya sendiri. Di laboratorium, pakar fisika Amerika kelahiran Jerman itu membakar satu kilogram batu bara. Hasil pembakaran berupa abu dan asap ia tampung. Saat ditimbang kembali, ternyata beratnya berkurang satu gram. Berkali- kali Einstein mengulangi, tetapi hasilnya tetap sama. Satu gram setiap pembakaran 1 kg. Hingga ke pembakaran seberat 10 kg, kekurangannya sama yakni 10 gram.
Einstein tak habis pikir. Akhirnya tanda tanya itu terjawab. Kehilangan berat hasil pembakaran tersebut karena terjadi perubahan bentuk menjadi “energi”. Melalui analisis energi ini kemudian Einstein membandingkan dengan batu bara yang dihabiskan untuk menggerakkan lokomotif kereta api Jerman selama setahun, yakni satu juta ton. Dengan demikian, energi yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara di semua lokomotif itu sebesar satu juta gram. Lalu ia bandingkan ke yang lebih luas, yakni benda- benda langit ( bintang gemintang ) di alam raya. Ketika itu sudah dapat dideteksi jumlahnya sekitar 100 juta miliar.
Lagi- lagi si jenius ini jadi bertanya- tanya : “ Dari mana sumber energi penggerak benda- benda langit dimaksud ? “ Kekaguman ini pula yang kemudian membawanya pada keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan yang ia sebut sendiri sebagai “Sang Maha Penggerak.” Sebagai kalimat penutup bukunya, Omar Hashem mengungkapkan : “ Sayang Einstein lahir dan dibesarkan di Eropa. Kalaulah hidup dan dibesarkan di Timur Tengah, kemungkinan besar ia akan mengatakan, bahwa Sang Maha Penggerak itu adalah Tuhan atau Allah.”
Dalam pendekatan antropologi budaya, dorongan untuk bertuhan itu bersumber dari emosi keagamaan (religious emotion ) yang ada pada diri manusia ( Koentjaraningrat, 2009 ). Oleh Rudolf Otto menggambarkan emosi keagamaan ini sebagai mysterium, tremendum et fascinans ( misterius, menggetarkan dan mengesankan ). Atas dasar itu maka timbul kepercayaan yang hampir universal seperti matahari merupakan dewa tertinggi. Berbagai sebutan muncul seperti dewa Ra, Zeus, Indra dan seterusnya ( Nurcholish Madjid, 1992). Kepercayaan seperti ini oleh Edward B. Taylor disebut believe in spiritual being. Percaya kepada sesuatu yang gaib yang memiliki kekuasaan di atas kemampuan manusia.
Islam menjelaskan bahwa manusia itu sendiri pada hakikatnya adalah makhluk yang bertuhan. Sejak awal penciptaannya, manusia telah memperoleh anugerah fitrah ( Q. 30: 30 ). Potensi untuk tunduk kepada Sang Maha Pencipta. Berdasarkan fitrahnya ini, maka setiap manusia : di manapun ia berada ( tinggal ), dari bangsa apapun dia, serta di kurun manapun ia hidup, dorongan untuk mengabdi kepada Tuhan itu tetap ada. Para Rasul diutus Allah pada hakikatnya adalah untuk membimbing, menuntun, serta mengarahkan fitrah itu secara tepat dan benar, yakni menyembah Allah Swt. sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian manusia yang tidak bertuhan, berarti mengingkari fitrah penciptaannya. Wallahu a’lam bish shawab.